Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). ( QS. Ar-Rum 41)
Anak menjerit-jerik, asap panas membakar
Lahar dan badai menyapu bersih
Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah
Memang, bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan, masih banyak tangan
Yang tega berbuat nista….
(Ebit G. Ade)
Masih ingatkah kita dengan bencana dahyat yang melanda saudara-saudara kita di Aceh sepuluh tahun silam, tepat pada 26 Desember 2004, saat dunia tengah bersiap berganti tahun, gempa bumi yang disertai gelombang pasang (Tsunami) menyapu Aceh. Laut memuntahkan jutaan liter air ke darat dan meluluh-lantahkan kota Banda Aceh, hingga memakan korban lebih dari 200 ribu jiwa. Ditengah ribuan mayat bergelimpangan setelah terseret arus tsunami dan tertimpa puing-puing gempa, jerit tangis serta takbir terdengar menggema diseluruh pelosok kota.
Anak-anak kehilangan orang tua, saudara keluarga dan tempat tinggal mereka, saya tidak dapat membayangkan suka, duka dan kesulitan yang mereka hadapi. Bagaimana mereka membangun semangat, kesabaran dan ketabahan selama 10 tahun terakhir ini. Aksi solidaritas nasional-internasional memberi bantuan saat warga Aceh membutuhkan, sangat membantu mereka untuk bangkit kembali dari kesedihannya.
Pada peringatan 10 tahun tsunami, ribuan orang mengikuti Aceh Berzikir di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Semua menundukkan kepala mendo’akan keluarga, kerabat dan saudara mereka yang menjadi korban tsunami 10 tahun silam. Begitupun dengan beberapa Negara yang diterjang tsunami. Peringatan serupa juga berlangsung di beberapa negara di Eropa, bagi para korban berkewarganegaraan asing yang menjadi korban dalam musibah yang sama.
Dorongan kebersamaan, persahabatan dan kekompakan serta do’a dari kita semua menjadi sebuah kekuatan besar bagi mereka.
Semoga para syuhada tsunami mendapat tempat yang layak di sisiNya. Amin
Selama 10 tahun terakhir ini, tidak sedikit pula bencana dan musibah yang melanda negeri kita. Akhir akhir inipun sering terjadi bencana alam yang melanda kota, desa dan kampung, merusak bangunan, harta benda bahkan meminta korban jiwa yang tidak sedikit. Tanah longsor, banjir bandang, sungai meluap, kebakaran hutan, kekeringan dan lain sebagainya.
Kejadian ini menarik saya ke sejarah masa lalu yang kelam dan mencekam. Bencana maha dahsyat letusan gunung Tambora pada April 1815 kurang dari 200 tahun silam, yang memuntahkan hingga kering magma dalam perutnya, dan meluluh-lantahkan peradaban disekitarnya. Akibat letusannya, menyebabkan kematian lebih dari 71.000 ribu jiwa dan merubah iklim dunia. Tanah menjadi kering, tidak sedikit masyarakat yang meninggal secara mendadak akibat kelaparan, juga karna air berubah menjadi racun, ternak-ternakpun demikian. Penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat pulau Sumbawa kala itu sangat mengiris ulu hati terdalam.
Peringatan 200 tahun Letusan Tambora tinggal beberapa bulan lagi. Moment yang indah dan mengharukan ini tidak ingin disia-siakan oleh semua pihak, baik persiapan secara invidu, kelompok maupun pemerintah. Peringatan ini sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan kebersamaan dan persamaan, guna menjaga dan melestarikan lingkungan disekitar kita, menjaga keseimbangan alam dan mengingatkan kita semua pada rentetan peristiwa sejarah masa lalu sebagai refleksi pembelajaran kita hari ini dan kedepannya.
Namun menjelang peringatan 200 tahun Letusan Tambora ini, justru disambut dengan hal-hal yang miris dan memalukan. Dengan menjadikan Tambora sebagai tempat wisata, sesugguhnya dapat mengajarkan masyarakat untuk sama-sama menjaga kelestarian dan keharmonisan alam sekitar. Bukan malah saling mengadu domba rebut proyek dan program untuk kepentingan beberapa orang atau kelompok. Belum lagi masuknya pabrik-pabrik besar, terjadinya pengrusakan dan pembabakan disekitar Tambora oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Akan mengancam keharmonisan alam sekitar. Di Kota Bima malah menyambut dengan pertikaian antara sesama, saling menebarkan kebencian dan permusuhan.
Bukankah peringatan bencana itu adalah pelajaran agar kita berbenah diri, mawas diri, mereview kembali prilaku kita, pelajaran agar kita berbuat baik terhadap sesama, menjaga keseimbangan alam, agar tidak berbuat kerusakan, menjaga selalu perdamain, kebersamaan, persahabatan dan agar kita kembali kejalan-NYA. Juga untuk memperingati penderitaan, suka, duka dan air mata mereka, dan turut mendo’akan mereka.
“Bencana alam sesungguhnya pengingat bagi kita semua, agar kita lebih memperhatikan keseimbangan alam, kemanusiaan dan hakikat diri.”
(Ardy)
Ket : foto Kompas.com
Sumber : Wikipedia
(Ardy)
Ket : foto Kompas.com
Sumber : Wikipedia
0 comments :
Post a Comment