Halim, Inspirasi Petani Muda Dana Mbojo

Halim, itulah nama akrab yang kerap dipanggil oleh teman sebayanya, di lingkup keluarganya dan juga lingkungan sekitarnya. Di Kelurahan Sadia Kota Bima, pemuda kreatif ini dikenal sebagai sosok yang sederhana dan biasa-biasa saja, tidak ada yang terlalu istimewa dalam dirinya. Tapi ada beberapa hal yang penulis catat tentang pribadinya. Ia merupakan salah satu pemuda yang berkeinginan keras, berkemauan tinggi, konsisten terhadap waktu dan sosok yang tidak mudah menyerah (sangat beda jauh dengan penulis yang hobinya begadang dan tidak tepat waktu).

Betul saja, bermula dari ajakan pamannya untuk menanam jagung pada lahan kosong seluas kurang lebih 36 (tiga puluh enam) are, tepat di belakang rumahnya yang di sewa oleh orang tuanya pada tahun 2011. “Sungguh sayang tanah seluas itu tidak dimanfaatkan, minimal di tanami dengan jagung, tomat, cabe atau sayur-sayuran lainnya, lagian kamu belum ada pekerjaan juga”. Saran pamannya.  Bukan hal yang mudah bagi Halim untuk mewujudkan ajakan pamannya itu, karna basicnya bukan di bidang pertanian. Namun sedikitpun ia tidak menolaknya,  “saya akan memulainya dari nol dan akan belajar ekstra tentang pertanian, terutama budidaya tanaman hortikultura. Toh petani-petani terdahulu juga bukan alumni mahasiswa pertanian, tapi mereka bisa karna biasa (pengalaman)”. Ia menyemangati dirinya.


Bermodal keinginan keras dan disertai dukungan orang tua dan keluarganya, ia pun bolak-balik ke warnet. Setiap hari selama sebulan penuh, Halim berselancar di internet dan mengacak-acak blog serta website seputar ilmu pertanian untuk mencari pengetahuan tentang budidaya tanaman hortikultura. Fokus utama Halim adalah tanaman jagung yang sesuai dengan saran pamannya. Dengan pelajaran singkatnya di interner dan juga rekomendasi dari om google menuju webside PT Expo Panamera, mulailah ia memesan bibitnya dan memainkan cangkul dan tembilangnya untuk membuat lubang tanam, sedang obat-obatan ia pesan dilain tempat.



Waktu itu tidak ada satu pun temannya yang membantu, bahkan dewa penolong pun tidak juga kunjung datang (minimal datang mengusap keringat sebesar jagung di dahinya). Alhasil, Halim pun bekerja sendiri, berjuang sendiri dan bergelut dengan lumpur sendiri, semuanya ia lakukan sendiri (tapi jangan salah, ia bukan jomblo lho). Sesekali disaat dia sedang menyemai bibit-bibit jagungnya, ada seseorang yang tidak ia sebutkan namanya kepada penulis, menyinggung perasaannya. Orang itu berkata “untuk apa kamu buang-buang waktu menanam yang tidak menguntungkan itu, hasilnya tidak ada. Lebih baik kamu jadi tenaga honorer saja, atau cari kerja yang jelas pemasukannya” sindiran dari orang itu sontak membuat mental Halim down alias jatuh terkapar secara psikologis. Tetapi untung bagi Halim, karna orang tua dan keluarganya begitu mensuport. “tak perlu kamu simpan di hati omongan orang-orang itu, mereka hanya menguji mental dan kemauanmu yang tinggi itu, kami sebagai orang tuamu selalu berada di belakangmu” ungkap ayahnya. Halim akhirnya bangkit dari tempat perenungannya dan melanjutkan penyemaian yang ia tinggalkan tadi.



Proses tanam menanam pun segera dimulai, ia masih sendiri menanam bibit jagung dan sesekali dibantu oleh orang tuanya. Hingga proses pemupukan belum juga ada sahabat sehidup sepenanggungan yang membantunya. Setelah masuk tahap penyemprotan, barulah ada seorang pelajar yang masih mengenyam pendidikan di SMA (Sekolah Menengah Atas) yang kebetulan tertarik dengan alam, karna ia mengambil jurusan IPA di sekolahnya. Tembak menembak dengan semprot yang berisi obat mematikan bagi virus-virus yang masuk wilayahnya tanpa ijin itu, pun mati mengenaskan.



Penjagaan dan perawatan intens terus dilakukan oleh Halim, tanpa telat waktu sedikitpun (disinilah dia membuktikan konsistennya terhadap waktu). Masuklah tahap akhir (panen) yang paling ditunggu-tunggu oleh Halim, inilah tahap yang menegangkan, mengharukan dan menggembirakan kalau-kalau hasilnya menguntungkan. Setelah panen dilakukan, Halim lagi-lagi menemui kesulitan pada proses pemasaran (karna terbilang baru atau pemula dibidang ini). Tapi ada prinsip jangan menyerah dalam dirinya, Halim akhirnya memberanikan diri membawa hasil panennya di pasar dan di lapak-lapak penjual jagung bakar, selain itu ia tawarkan ke kampung-kampung dan ada juga yang ia bagikan secara cuma-cuma ke tetangganya (itung-itung sebagai do’a selamat). Karna di wilayah Dompu juga banyak petani jagung, maka jagung-jagung Halim pun tak semuanya laku terjual. Halim sangat senang sekali dengan hasil dari keringatnya sendiri itu, meskipun tidak sesuai yang diharapkan, tapi ini baru awal. Tegasnya.



Karna banyak petani jagung, tentu pesaingnya juga banyak dan relative berpengaruh pada harganya. Di tahun 2012, Halim mencoba menguji kemampuannya dengan berpindah jenis tanaman yaitu menanam tomat. Ia masih betah dengan bibit yang ditawarkan oleh PT Expo Panamera, kebetulan PT tersebut sedang lounching varietas bibit tomat baru. Selain mendapat bibit unggul, dia juga mendapat arahan dan masukan dari pihak produsen bibit. Sambil menunggu kedatangan pesanannya, ia membeli plastik mulsa untuk menutup bedengan dan bambu sebagai penyangga pohon tomat. Menanam jagung dan tomat cukup berbeda tingkat kesulitannya. Halim menanam, mengelola, merawat dan menjaganya penuh dengan ke hati-hatian. Kendala tenaga dan cuaca begitu membuat pikiran dan perasaannya berkenyamuk, tapi dia tetap meyakinkan dirinya. Setelah memupuk dan menyemprot tanamannya terlihat begitu berbinar matanya, saat melihat tomat-tomatnya mulai menunjukan buahnya. Memasuki bulan ke dua, tiba-tiba dan tak diduga-duga datanglah rombongan tim peneliti dari PT EAST WEST SEED INDONESIA yang ingin meneliti jenis virus dan perkembangan pertumbuhan varietas baru tomat tersebut. “Satu hal yang peneliti itu katakan kepada saya dan menambah semangat saya” Saya baru pertama kali melihat anak muda yang mau bertani, apalagi di perkotaan seperti ini, kami pengapresiasi kemauanmu”, begitu katanya. Deg-degkan bercampur haru yang ia rasakan dengan kedatangan para peneliti itu. “Ini adalah kebanggaan dan penghargaan tersendiri bagi saya ditengah tidak adanya apresiasi Kepala daerah dan Dinas Pertanian terhadap petani muda seperti saya ini” ungkapnya.



Setelah kedatangan peneliti itu, Halim seakan mendapat kekuatan yang maha dasyat untuk terus mengasah lagi pengetahuannya tentang cara budidaya tanaman hortikultura. Selain itu, saya mendapat undangan pelatihan selama 2 (dua) hari di Surakarta dan dapat melihat langsung lahan budidaya hortikultura yang begitu luas dan luar biasa indahnya bagiku. Sayapun pulang dengan piagam penghargaan yang diberikan oleh panitia penyelenggara. Alhamdulillah setelah pulang dari Surakarta panen tomat ku membuahkan hasil yang jauh dari bayanganku, biaya yang saya keluarkan mulai dari pengolahan lahan sampai paska panen sekitar 20 (Dua puluh juta rupiah) dan keuntungan saya cukuplah untuk membiayai adik-adik sekolah. Di Tahun 2013 dan 2014 saya masih bergelut dengan tanaman tomat, selain harganya terbilang lumayan dan bagi saya menanam tomat sudah menjadi jiwaku. Tidak sedikit juga petani-petani yang datang diskusi dan sharing pengetahuan tentang tanaman hortikultura. Halim pun membagi pengetahuannya dengan segenap senyuman kepada para petani, mereka umumnya masih menggunakan cara tradisional dan setelah mendapat sedikit pengetahuan dari Halim, akhirnya mereka merubahnya dengan cara semi modern.



Akhir cerita (sebenarnya belum habis) semoga pembaca tidak mengerutkan dahinya, karna tulisan kepanjangan. Hehe. (Ardy)
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments :

Post a Comment